Manfaat dan Tatalaksana ICD X dalam
kesehatan Haji[1]
PENDAHULUAN
Nomenklatur merupakan sistem yang
digunakan untuk istilah medis yang menggambarkan penyakit, symptom, dan
prosedur. Nomenklatur juga dikenal sebagai terminologi klinis. Penggunaan
nomenklatur harus kompatibel dengan sistem klasifikasi yang merupakan sistem
yang dapat mengelompokkan penyakit-penyakit dan prosedur-prosedur yang sama dan
diakui secara internasional. Klasifikasi Internasional Penyakit, Revisi
Kesepuluh atau ICD 10 merupakan klasifikasi penyakit yang digunakan pada saat
ini. Sistem ini akan memudahkan pengaturan, penyimpanan, pengambilan, dan
analisis data kesehatan. Terlebih lagi, untuk pengembangan dan penerapan
pencatatan pasien yang terkomputerisasi.
Kebijakan dan prosedur sangat
dibutuhkan untuk mengawasi proses koding. Penggunaan perbendaharaan klinis oleh
para klinisi bertujuan untuk mengumpulkan, mengolah, dan mengambil data untuk
tujuan administrasi (statistik, pembayaran, peralatan, dll), dan klinis
(mengembangkan pelayanan medik).
SEJARAH
Sistem
Klasifikasi yang digunakan pada saat ini adalah ICD-10, ICD pada mulanya dibuat
untuk klasifikasi penyebab kematian. Pada abad 17 John Graunt mengembangkan
studi yang disebut “London Bill of Mortality”. Pada ICD revisi VI tahun 1946 digunakan juga untuk
klasifikasi morbiditas. Dengan publikasi baru berjudul “International
Classification of Diseases,Injuries and Cause of Death”.
Pada mulanya, ICD direvisi dengan interval 10
tahun, hal ini dianggap terlalu singkat dalam penerapannya. Oleh karena itu, di
dalam ICD-10 telah disiapkan kemungkinan untuk penambahan kode penyakit baru
sehingga revisi dalam waktu singkat dapat dihindari. Setiap bab dimulai dengan
abjad, dari 26 huruf yang tesedia, 25 sudah digunakan, huruf u disiapkan untuk
penambahan sebelum revisi dilakukan.
Tujuan dan
Kegunaan ICD
1)
Klasifikasi morbiditas dan mortalitas untuk tujuan
statistik
2)
Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di
sarana pelayanan kesehatan
3)
Pelaporan diagnosis tenaga medis
4)
Memudahkan penyimpanan dan pengambilan data
5)
Sebagai dasar pengelompokan DRGs untuk pembayaran
6)
Pelaporan nasional morbiditas dan mortalitas
7)
Tabulasi data pelayanan kesehatan untuk evaluasi
perencanaan pelayanan medik
8)
Menemukan bentuk pelayanan
9)
Analisis pembayaran pelayanan kesehatan
10)
Untuk penelitian epidemiologi dan klinis
STRUKTUR ICD-10
ICD-10 terdiri
atas 3 volume, volume 1 berisi klasifikasi utama disebut dengan Tabular lis,
volume 2 petunjuk penggunaan, sedangkan volume 3 indeks alfabet. Volume 1
terdiri atas 21 bab yang disusun menurut sistem anatomi (body system)
dan grup khusus. Pengkodean menggunakan alfa numerik A00-Z99 kecuali U belum
digunakan yang dipersiapkan untuk kode diagnosis baru. Masing-masing bab
dimulai dengan huruf, empat belas bab menggunakan satu huruf, tiga bab
bergabung dengan bab lain, dan bab yang lain lebih dari satu huruf (lihat lebih lanjut pada table 1).
Setiap bab
dibagi menurut blok, setiap blok terdiri atas tiga karakter dan setiap kategori
tiga karakter dapat dirinci mejadi kategori empat karakter atau lebih sesuai
dengan rincian setiap tiga karakter tersebut (lihat gambar 1).
|
|||||
|
Bab
|
ICD
|
Kode Awal
|
Farr"s
|
I
|
Penyakit parasistik dan infeksi tertentu
|
A,B
|
Epi
|
II
|
Neoplasma
|
C,D
|
Gen
|
III
|
Penyakit darah dan organ pembentuk darah
|
D
|
Gen
|
IV
|
Penyakit endokri nutrisi dan metabolic
|
E
|
Gen
|
V
|
Gangguan mental dan perilaku
|
F
|
Gen
|
VI
|
Penyakit sistem syaraf
|
G
|
BS
|
VII
|
Penyakit mata dan organ mata
|
H
|
BS
|
VIII
|
Penyakit telinga dan prosessus mastoideus
|
H
|
BS
|
IX
|
Penyakit sistem sirkulasi
|
I
|
BS
|
X
|
Penyakit sistem nafas
|
J
|
BS
|
XI
|
Penyakit sistem cerna
|
K
|
BS
|
XII
|
Penyakit kulit dan jaringan subkutan
|
L
|
BS
|
XIII
|
Penyakit sistem muskulokeletal dan jaringan penunjang
|
M
|
BS
|
XIV
|
Penyakit sistem kemih
|
N
|
BS
|
XV
|
Kehamilan, kelahiran, dan masa nifas
|
O
|
Gen
|
XVI
|
Kondisi tertentu yang bermula dari masa perinatal
|
P
|
Divl
|
XVII
|
Kelaianan kongenital, deformitas, dan kelainan kromosom
|
Q
|
Divl
|
XVIII
|
Tanda, gejala, dan hasil pemeriksaan klinik & laboratorium yang
tidak normal
|
R
|
Gen
|
XIX
|
Cedera dan keracunan
|
S, T
|
|
|
CADANGAN
|
u
|
|
XX
|
Seluar kesakitan dan kematian
|
V, W, X, Y
|
Gen
|
XXI
|
Faktor yang mempengaruhi keadaan kesehatan dan kontak dengan
pelayanan kesehatan
|
Z
|
Gen
|
PENGGUNAAN
ICD-10
Dalam
menggunakan ICD-10 perlu diketahui bagaimana menggunakan ICD, dan peraturan
morbiditas serta petunjuk dan peraturan kode mortalitas, yaitu:
I.
Peraturan Umum sistem Dagger dan Asterisk, serta
delapan langkah dasar pedoman sederhana dalam menentukan kode.
II.
Peraturan Morbiditas
III.
Peraturan Kode Mortalitas
KETERANGAN UNTUK PERATURAN MORBIDITAS
Untuk pengkodean
morbiditas sangat bergantung pada diagnosa yang ditetapkan oleh dokter yang
merawat pasien atau yang bertanggung jawab menetapkan kondisi utama pasien yang
kemudian diklasifikasi dalam kode penyakit. Hal yang dapat dijadikan tanda
adalah gejala tanda, alasan kontak dengan pelayanan kesehatan, kondisi
multiple.
Hal yang perlu
dicatat untuk pengkodean yang spesifik yaitu penyakit dengan squelae, akut dan
kronis, neoplasma, cedera dan penyebab eksternal. Seperti contoh di bawah ini:
1.
Carsinoma lobutan lower outer quadrant of the left
brust C 50.5, M8520/3
2.
Cerebral contusion due to fall from bed into floor
S06.20 W06.04
3.
Tuberculosis meningitis (dengan dagger dan
asterisk) A17.0
, G01*
Pada keadaan
dokter yang merawat atau bertanggung jawab bila tidak dapat menunjukkan atau
menetapkan keadaan utama pasien atau tidak memungkinkan untuk mendapatkan
penjelasan, maka penetapan kondisi utama melalui ketentuan/aturan (rules) yang
dapat menjamin bahwa kondisi utama yang dipilih dan dikode menggambarkan
kondisi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam satu episode pelayanan.
Koder harus terbiasa dengan ketentuan ini dan mampu menggunakannya yaitu
ketentuan (rules) MB1-MB5.
KETERANGAN UNTUK PERATURAN KODE MORTALITAS
1. Ketentuan
Umum
Sertifikat
kematian adalah sumber utama data mortalitas, informasi kematian biasa di dapat
dari praktisi kesehatan atau pada kasus kematian karena kecelakaan, kekerasan,
dan penyakit jantung. Orang yang mengisi sertifikat kematian akan memasukkan
urutan kejadian yang meyebabkan kematian pada sertifikat kematian sesuai dengan
format internasional .
Konsep sebab
kematian hanya memberi satu sebab kematian yang memudahkan untuk
pengisian sertifikat walaupun tercatat dua atau lebih kondisi morbiditas yang
menyebabkan kematian. Sebab yang mendasari kematian merupakan pusat dari kode
mortalitas.
WHO mendefinisikan
sebab kematian adalah semua penyakit, keadaan sakit atau cedera yang
menyebabkan atau berperan terhadap terjadinya kematian. Oleh karenannya sebab
yang mendasari kematian adalah keluhan atau kejadian atau keadaan yang jika
tidak karena hal tersebut pasien tidak akan mati.
2. Memilih sebab kematian
WHO telah
menetapkan prosedur yang harus diikuti untuk mengkode sebab yang mendasari
kematian dengan urutan langkah-langkah logis sebagai berikut:
1 Prinsip umum
Apabila lebih
dari satu penyakit atau keluhan ditulis pada sertifikat, Maka penyakit atau
keadaan tunggal yang dicantumkan pada
baris terakhir, hanya jika penyakit /keluhan tersebut menyebabkan terjadinya
seluruh penyakit (keluhan yang tercantum diatasnya)
Contoh: (a)
Abcess of lung
(b) Lobar pneumonia
Pilih
Lobar pneumonia (J18.1) sebagai penyebab mendasar sebab abses paru .
2 Aturan
modifikasi
Dalam beberapa
kasus sebab yang mendasari kematian yang telah dipilih dengan menggunakan
aturan diatas tidak terpakai, dalam hal ini ditetapkan cara modifikasi sesudah
penggunaan prinsip umum atau aturan 1-3 tidak biasa dipakai maka digunakan
aturan modifikasi A-F.
Keterkaitan ICD 10 dengan klasifikasi lainnya
WHO pada tahun
2004 mengembangkan Family Classification ICD-10 setelah disadari bahwa
informasi pada ICD 10 tidak cukup untuk dihubungkan dengan gangguan kesehatan.
(lihat lebih lanjut Gambar 2)
WHO dalam
menerbitkan buku Family of International Classification (WHO-FIC)
mempunyai tujuan agar dapat digunakan mencapai visi yang terintegrasi untuk
membandingkan informasi kesehatan secara internasional. Klasifikasi tersebut
terbagi atas tiga kelompok:
1. Klasifikasi Rujukan yang terdiri
atas:
International Classification of Diseases
International Classification of Functioning, Disability in Health (ICF)
International Classification of Health Intervention (ICHI)
2. Klasifikasi spesifik yang terdiri atas:
International Classification of Diseases for Oncology, Third Edition
(ICD-O-3)
The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders
Application of the International Classification of Diseases to Dentistry
and Stomatology, Third Edition (ICD-DA)
Application of the International Classification of Diseases to Neurology
(ICD-10-NA)
3. Klasifikasi yang berhubungan
International Classification of Primary Care (ICPC)
International Classification of External Causes of Injury (ICECI)
The Anatomical, Therapeutic Chemical (ATC) classification system with
Defined Daily Doses (DDDs)
ISO 9999 Technical aids for persons with disabilities-Classification and
Terminology
Sementara itu
ada klasifikasi yang tidak masuk pada klasifikasi diatas, seperti Sistem
Klasifikasi pembedahan yang merupakan kumpulan dari tindakan – Pembedahan yang
digunakan, pada saat ini masih menggunakan klasifikasi yang ditetapkan oleh WHO (ICOPIM) tahun 1978
dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tahun 1997. Klasifikasi pada ICOPIM
mencakup klasifikasi pembedahan, laboratorium, radiologi, tindakan bedah,
pengobatan, dan berbagai prosedur lain. Pada saat ini sedang dikembangkan
klasifikasi pembedahan – tindakan yang baru yang disebut dengan International
Classification of Health Intervention (ICHI), klasifikasi ini dikembangkan
untuk negara yang telah menerapkan ICD-10.
HAL-HAL PENTING
DALAM KODING
1. Standar dan
etik
Standar dan etik
koding sudah dikembangkan oleh AHIMA, terdapat beberapa standar yang harus dipenuhi
oleh seorang koder professional, antara lain:
- Akurat, komplit dan konsisten untuk menghasilkan data yang
berkualitas
- Koding harus mengacu pada ICD-CM
- Koding harus mengikuti sistem klasifikasi yang sedang berlaku
dengan memilih koding diagnosis dan tindakan yang tepat
- Koding harus ditandai dengan laporan kode yang jelas dan konsisten
pada dokumentasi dokter dalam record pasien
- Koding professional harus berkonsultasi dengan dokter untuk
klarifikasi dan kelengkapan pengisian
- Koding professional tidak mengganti kode pada bill pembayaran
- Koding professional harus sebagai anggota dari tim kesehatan, harus
membantu dan mensosialisasikan kepada dokter dan tenaga kesehatan lain
- Harus mengembangkan kebijakan koding di institusinya
- CP harus secara rutin meningkatkan kemampuannya mengenai koding
- Koding professional berusaha untuk memberi kode yang paling sesuai
untuk pembayaran
2.
Elemen kualitas koding
Audit harus
dilakukan untuk mereview kode yang telah dipilih oleh petugas. Koding proses
harus dimonitor untuk beberapa elemen sebagai berikut:
1. Reliability (Konsisten bila
dikode petugas berbeda kode tetap sama)
2. Validity (Kode tepat sesuai diagnosis dan
tindakan)
3.
Completeness (mencakup semua diagnosis dan tindakan
yang ada di rekam medis)
4. Timeliness (tepat waktu)
3.
Kebijakan dan prosedur koding
Setiap fasilitas
pelayanan kesehatan harus membuat kebijakan dan prosedur koding sesuai dengan
tenaga dan fasilitas yang dimilikinya. Kebijakan dan prosedur tersebut sehingga
merupakan pedoman bagi tenaga koding agar dapat melaksanakan koding dengan
konsisten. Kebijakan ditetapkan oleh organisasi seperti organisasi rumah sakit
(ARSADA), IDI, Persatuan Manajemen Informasi Kesehatan (PORMIKI) dan organisasi
lainnya.
KAITAN ICD DAN
DIAGNOSTIC RELATED GROUPS (DRG’S)
Perkembangan
haji kedepan adalah mengembangkan manfaat lain yang dapat dirasa, seperti
ketika perkembangan pembayaran dilakukan dengan didasari pada diagnosa
penyakit. Besaran biaya ini sangat ditentukan oleh diagnosa akhir pada saat
pasien keluar rumah sakit yang ditetapkan oleh dokter yang merawat atau
bertanggung jawab serta ketepatan koding yang diberikan oleh petugas rekam
medis dengan menggunakan ICD-10.
Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun
pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan dalam dengan merinci pelayanan apa
saja yang telah diberikan kepada seorang pasien. Akan tetapi rumah sakit hanya
menyampaikan diagnosis pasien waktu pulang dan memasukan kode DRG untuk
diagnosis tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis tersebut sudah disepakati
oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak pembayar misalnya badan
asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan oleh
pemerintah sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan.
Adapun DRG digunakan atas pengelompokan ICD
yang telah dimodifikasi yang disebut dengan ICDCM (International Classification
of Diseases Clinical Modification) pengelompokan dilakukan atas dasar
klasifikasi anatomi dan fisiologis, adanya tindakan, umur, jenis kelamin
pasien.
Pembayaran
dengan cara DRG mempunyai beberapa keutamaan sebagai berikut, sebagian hal tersebut adalah:
·
Memudahkan
administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar
·
Memudahkan
pasien memahami besaran biaya yang harus dibayarnya
Sementara
kelemahannya sebagian adalah penerapannya yang membutuhkan pencatatan rekam medis,
yang akurat dan komprehensif. Sistem komputerisasi dan teknologi kumputer kini
sangat memudahkan penyelenggaraan sistem ini
KESIMPULAN
Pada
saat ini koding, klasifikasi dan sistem perbendaharaan klinis telah berkembang
dan dirasakan pentingnya terutama bagi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan haji. yang sudah
menggunakan untuk sistem pembayaran, penelitian dan lain sebagainya. Tujuan dan
penggunaan klasifikasi klinis bervariasi seperti ICD untuk klasifikasi
kesakitan dan kematian, ICD-O untuk onkologi, ICF untuk kecacatan dan
ketidakmampuan dan lain sebagainya. Setiap organisasi pelayanan kesehatan harus
mempunyai kebijakan dan prosedur untuk digunakan untuk mengatur proses koding
dan menjamin konsistensi dari hasil koding. Setiap organisasi kesehatan harus
menetapkan program audit/monitoring untuk mereview keakuratan koding
berdasarkan aturan yang ada.
Dan
pengembangan teknologi yang canggih juga perlu didasari pada pedoman yang telah
dikembangkan serta pemantauan yang untuk keakuratan pengisian. Teknologi
mempunyai dampak pada efisiensi yang besar dalam proses pengkodean, dan bila
dikembangkan dengan baik akan mempercepat proses pelayanan jemaah haji bahkan
dapat mempertajam sistim skrining haji terhadap risiko tinggi yang belum
berjalan dengan baik. Yang tentu saja diharapkan akan memberi kepuasan
pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 1982,
Pedoman Klasifikasi Jenis Pembedahan di Indonesia, Ditjen Yanmed, Jakarta
Depkes RI, 1993,
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III),
Ditjen Yanmed, Jakarta
Depkes RI, 1997,
Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia, Ditjen Yanmed,
Jakarta
Depkes RI, 1997,
Aplikasi Internasional Tentang Penyakit Gigi dan Mulut, Ditjen Yanmed, Jakarta
John Merida
2002, Health Information Management Technology – an applied approach, AHIMA,
Chicago
National Center
for Classification in Health 1999, ICD-10 Student Workbook – an Interactive
training course for ICD-10, 4th ed, NCCH, Brisbane
National Center
for Classification in Health 2004, Clinical Coding with ICD-10 and ICHI, NCCH,
Brisbane
World Health
Organization 1978, International Classification of Procedure in Medicine
ICOPIM, WHO, Geneva
World Health Organization
1992, International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems (ICD), 10th rev, Vol 1-3, WHO, Geneva
World Health
Organization1992, The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders,
WHO, Geneva
World Health Organization 2001,
International Classification of Functioning, Disability and Health, WHO, Geneva
World Health Organization 2002, Medical
Records Manual – a guide for developing countries, WHO, Geneva
[1] Disajikan pada Penyusunan Draft
Pedoman Sistem Informasi Kesehatan Haji, tanggal 1 Juli 2005, Hotel Sri Varita,
Jakarta
No comments:
Post a Comment